Fatwa dan Dunia yang Tengah Berubah  

Oleh Achmad Ubaedillah*

 

Islam sebagai agama penyebar rahmat bagi semesta alam menghadapi tantangan yang tidak terbatas pada persoalan etika publik, tapi juga bagaimana menjadikan agama ini responsif terhadap perkembangan dan perubahan sosial yang berskala global.

Paska pandemi Covid-19 umat Islam khususnya dan penghuni planet bumi secara umum menghadapi goncangan sosial yang tak pernah dialami pada masa-masa sebelumnya. Tak hanya dampak pandemi Covid-19, kemajuan teknologi digital telah mengubah tatanan dan cara-cara manusia dalam berinteraksi dengan sesama maupun dengan alam sekitarnya.

Peran ulama, dalam kerangka ini begitu penting. Dus realitas ini telah menggugurkan tesis sekularisme, bahwa semakin rasional manusia modern semakin jauh pula peran agama.

Islam, dalam hal ini kalangan ulama atau para pemberi fatwa (mufti) sebagai panutan umat Muslim memikul tanggung jawab bagaimana Islam tetap “living” di kalangan pemeluknya dan tak ketinggalan zaman.

Secara spesifik semangat itu ditangkap oleh Sekolah Tinggi Ilmu Fikih (STIF) Syeikh Nawawi Tanara melalui pelaksanaan Webinar Internasional tentang “Pentingnya peran fatwa dalam menjawab permasalahan umat pada masa sekarang” pada 27 Desember 2023.

Pada perhelatan yang dihadiri oleh Wakil Presiden KH Prof. Ma’ruf Amin dan dihadiri oleh pembicara dari Indonesia dan beberapa negara itu, penulis mendapat kesempatan memberikan sekelumit kata sambutan.

Dalam kajian hukum Islam, fatwa menempati posisi ketiga setelah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Menurut tinjauan ushul fikih, fatwa dapat didefinisikan sebagai suatu pendapat dan pemikiran yang disampaikan seorang atau sekelompok Ahli Fiqih (Mujtahid) guna merealisasikan berbagai jawaban dan pertanyaan yang diajukan pihak yang mengajukan fatwa atas permasalahan-permasalahan yang sifatnya tidak mengikat (Dahlan, 1996).

Pada jamaknya, fatwa bersifat dinamis dan lentur. Artinya dapat berubah seiring situasi dan kondisi tertentu, sehingga fatwa dapat berbeda dari waktu ke waktu. Dari segi fungsi, fatwa tidak hanya berguna sebagai sumber rujukan keagamaan, tetapi juga sebagai rekaman historis yang menjadi sumber sejarah sosial dari suatu komunitas pada masa tertentu.

Setidaknya terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dan mendorong terjadinya perubahan fatwa yakni; pertama, perubahan zaman; kedua, perubahan tradisi; ketiga, perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi; keempat, perubahan kebutuhan manusia; kelima, perubahan kemampuan manusia; keenam, perubahan ekonomi dan sosial-politik; dan ketujuh, musibah.

Bencana alam dan pandemi global Covid-19 tergolong pada faktor terakhir tersebut. Pandemi telah menciptakan disrupsi sosial warga dunia secara umum.

Berkaitan dengan paparan di atas, saat ini kita perlu menginsyafi dan menyadari sepenuhnya bahwa dunia kini telah mengalami perubahan signifikan. Dalam kajian sosial kontemporer, kita mengenal istilah disrupsi.

Secara etimologi, disrupsi dapat didefinisikan sebagai terjadinya perubahan besar-besaran yang disebabkan oleh adanya inovasi yang mengubah sistem dan tatanan ke taraf yang lebih baru.

Terjadinya disrupsi pada berbagai sektor kehidupan tentunya menuntut adaptasi dari manusia untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di sekelilingnya. Merupakan hal yang mutlak jika seseorang harus secara cepat mengubah mindset dan menyesuaikan diri agar tidak tertinggal oleh perubahan yang kian hari dirasakan kian cepat.

McKinsey Global Institute (2017) memproyeksikan setidaknya 400-800 juta orang di dunia akan kehilangan pekerjaan pada 2030 karena tergantikan oleh robot dan kecerdasan buatan Artificial Intelligence (AI).

Efek disrupsi yang demikian luas tersebut pada akhirnya akan merambah dan mempengaruhi kehidupan sosial dan masyarakat, khususnya perubahan sikap dan perilaku keagamaan. Untuk itu diperlukan fatwa yang aktual dan fungsional seiring dengan perubahan zaman.

Pada era disrupsi dan pasca pandemi seyogianya kalangan ulama memformulasikan dan memproduksi fatwa yang hirau terhadap wacana modern dan isu-isu global kontemporer seperti wabah penyakit (Covid-19), lingkungan hidup, keamanan manusia (human security), krisis energi, ekonomi digital, kesetaraan gender, kelaparan, perdagangan manusia, radikalisme dan terorisme, proliferasi senjata dan reformasi lembaga internasional.

Selain itu, guna menghasilkan fatwa yang dapat menjawab tantangan dan perkembangan zaman, kalangan ulama hendaknya meningkatkan penguasaannya terhadap pendekatan multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin keilmuan, khususnya kajian ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi yang dapat memudahkan penelaahan serta pencarian solusi atas berbagai permasalahan sosial yang terjadi dan dihadapi oleh masyarakat.

Pada era disrupsi ini, reaktualisasi fatwa merupakan keperluan yang mendesak dan mutlak, namun prosesnya tetap harus melalui koridor yang dilakukan kalangan ulama melalui lembaga atau institusi fatwa yang otoritatif seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Dalam kesempatan ini pula, izinkan saya untuk sedikit mengulas mengenai peran dan kedudukan lembaga pemberi fatwa di Indonesia dan di negara Brunei Darussalam. Dalam konteks Indonesia, fatwa setidaknya dikeluarkan oleh tiga organisasi keagamaan Islam, yakni Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan MUI.

Menarik untuk diketengahkan bahwa dalam praktiknya seringkali ketiga organisasi keagamaan Islam tersebut mengeluarkan fatwa yang berbeda atas suatu persoalan tertentu. Namun demikian, perbedaan yang ada tidak menjadikan masing-masing organisasi keagamaan Islam itu mengklaim bahwa fatwanya yang paling benar, sementara fatwa yang lain keliru.

Hal ini dapat menunjukkan adanya fleksibilitas dan kedinamisan karakter proses pemberian fatwa di Indonesia. Secara umum, umat Islam di Indonesia sendiri sebagai penduduk mayoritas memiliki kebebasan dalam memilih fatwa yang dianggap compatible dan sesuai untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang sedang dihadapinya.

Sebagai penekananan bersama, peran fatwa di Indonesia juga harus dapat menguatkan konsep negara bangsa (nation-state), dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), disamping meneguhkan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara serta mengukuhkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional pemersatu bangsa Indonesia.

 

Fatwa Islam di Kawasan ASEAN

 

Hal yang tak kalah pentingnya untuk dibahas adalah tantangan fatwa di negara-negara kawasan Asia Tenggara (ASEAN). Dengan karakteristik dan bentuk pemerintahan yang tak seragam tentunya kalangan ulama (mufti) di negara-negara itu memiliki tantangan berbeda.

Di ketiga negeri jiran (Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam) dimana jumlah penduduk Islam pada masing-masing negara tersebut tercatat signifikan bahkan mayoritas, peran lembaga fatwa menjadi penting.

Kerjasama dan penguatan lembaga fatwa melalui pertemuan-pertemuan rutin kalangan ulama ASEAN diharapkan dapat terlibat tidak hanya sebatas pada penyelesian persoalan-persoalan keegamaan (Islam) semata, tetapi dapat berperan dalam pelbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan masyarakat anggota ASEAN.

Semangat menguatkan sistem pemerintahan modern negara-negara anggota ASEAN harus tetap menjadi platform yang tetap dipertahankan sebagaimana selama ini terjadi di Indonesia, dan peran agama adalah sebagai penguat pilar-pilar negara modern.

Pada saat bersamaan, kalangan mufti juga dapat berperan sebagai mediator perdamaian bersama pemerintah. Peran ini bahkan dapat diperluas melintasi beragam komunitas dan agama.

Keterbatasan pemerintah anggota ASEAN dalam menyelesaikan berbagai persoalan seperti masalah Rohingya di Myanmar dan konflik bernuansa agama di Thailand Selatan dan Pilipina (Moro) seyogyanya dapat melibatkan kalangan tokoh lintas agama.

Hubungan diplomatik kontemporer yang selama ini dimonopoli oleh aktor negara tidak lagi menjadi pakem. Peran serta aktor non negara (non-states) dapat dilakukan oleh kalangan tokoh dan lembaga agama sebagai jalur alternatif diplomasi dewasa ini.

Kehadiran dan peran kalangan agamawan dalam fora diplomatik selama ini cenderung dinafikan, bahkan tidak dianggap penting, khususnya dalam perspektif hubungan internasional (HI) Barat yang sekuler dan memandang agama sebagai residu peradaban modern yang tak memiliki tempat dalam praktik maupun kajian disiplin HI.

Namun pada kenyataannya tesis sekularisasi dengan rasionalisasinya ternyata tidak mampu menjadikan umat manusia modern semakin jauh dari kehidupan agama yang dinilai identik dengan sesuatu yang irrasional dan tak sejalan dengan spirit modernitas.

Faktanya, di tengah arus sekularisme ternyata agama makin menunjukkan perannya dalam kehidupan manusia modern. Kegagalan lembaga-lembaga inernasional dalam menjaga perdamaian, salah satunya telah memberikan ruang gerak bagi kalangan agama untuk berperan dalam berbagai persoalan yang kerap ditimbulkan oleh arus modernitas.

Meski nampak hanya sebatas kilas balik sesaat kalangan agamawan dalam kehidupan sekuler, pada kenyataannya kenestapaan dunia akibat dampak modernitas yang berakhir pada kemiskinan, perang, konflik dan keterasingan manusia telah membuka jalan bagi kalangan agamawan untuk memainkan peran profetis agama.

 

*Prof. Dr. Achmad Ubaedillah, MA adalah Dosen FISIP UIN Jakarta/Dubes RI untuk Brunei Darussalam.

Leave a Reply