Sketsa Serba- Serbi Sholat Subuh (8)

*Lebih Takut ke Kamera Daripada Allah?*

 

– Wina Armada Sukardi –

 

BERDALIH menerapkan ajaran “ambil yang baik-baik, dan tinggalkan yang buruk-biru, ” sampai saat ini di mesjid masih sering terjadi kehilangan alas kaki. Sandal atau pun sepatu. Juga pada sholat subuh. Apakah karena diambil anak-anak yang belum faham nilai-nilai baik buruk, ataukah oleh orang yang dewasa yang sengaja menukar sendal atawa sepatu mereka yang butut dengan gantinya yang bagus.

Tentu ini sesuatu yang sangat memprihatinkan. Mesjid adalah rumah Allah. Rumah yang harus dihormati. Mesjid juga merupakan tempat siar ajaran agama islam. Dari mesjid diajarkan menerapkan akhlak yang luhur. Dari mesjid diajarkan pula untuk menghindari hal-hal yang buruk. Dengan demikian, sejati di mesjid semuanya harus sesuai ajaran Islam. Ahlak harus ditegakkan. Di rumah Allah tidak boleh ada pencurian, apapun, termasuk sandal dan sepatu, dengan alasan apa saja. Haram hukumnya mengambil milik orang lain. Ini harus menjadi “doktrin” utama dalam penerapan ajaran islam.

Hal ini harus pula disosialisasikan kepada semua pihak, terutama anak-anak. Mesjid ialah tempat suci yang tidak boleh terjadi kejahatan apapun. Jangankan sandal dan sepatu hilang, jika ada mas berlian atau uang yang terti nggal atau jatuh di mesjid saja, pemiliknya harus dijamin bakal memperolehnya kembali.

Semua niat buruk di mesjid harus ditanggalkan. Di mesjidlah nilai-nilai kebaikan patut diharapkan dan diterapkan. Jemaah harus dibuat nyaman di mesjid. Tak boleh ada perasaan was-was nanti sandal atau sepatu saya hilang. Barang berharga sekalipun di mesjid harus dijamin aman.

Jika ke mesjid orang harus merasa barangnya diletakkan dimana saja, dijamin pasti bakal aman dan kembali. Selama di mesjid, barang apa saja, yang jatuh atau hilang , tak bakalan lenyap. Harus dibuat dan dilaksanakan mesjid itu lambang kejujuran.

Dilarang keras menodai mesjid dengan sikap kriminal yang sekecil apapun, termasuk mencuri sandal dan sepatu. Tapi yang terjadi selama ini justeru sebaliknya. Di mesjidlah sering terjadi hilangnya sepatu atau sandal yang bagus.

Jika ada “jemaah palsu,” artinya orang ke mesjid bukan untuk benar-benar sholat, tapi melakukan kriminal seperti tetapi tidak terbatas pada mencuri, harus dipastikan mereka harus dihukum seberat-beratnya, termasuk sanksinya sosialnya. Agar dia malu.

 

Agar keluarganya malu. Dengan begitu diharapkan mesjid menjadi steril dari kejahatan. Perilaku manusia di mesjid harus dipastikan menjadi sudi tauladan.

Tak hanya hanya sebatas sandal dan sepatu, pengalaman saya sholat subuh di mesjid pun ternyata masih sering terjadi pencurian motor. Padahal sebelum sholat, motor masih dijaga dan diwasi beberapa orang. Dan batas antara sholat dengan pengawasan beda tipis. Tapi tiba pada waktu sholat subuh, si maling secepat kilat mampu mencuri motor. Ini kan berarti dia sudah mengamati situasi mesjid pada subuh hari dengan cermat. Pastilah para maling sudah mengamati keadaan berhari-hari sebelumnya, sehingga mereka faham benar kapan momen untuk mencuri. Kejadian ini sudah beberapa kali terjadi.

Rupanya para pencuri sudah tidak takut lagi kepada Tuhan. Tidak gentar kepada Allah. Mereka tak peduli mencuri di rumah Allah. Tak ada sebiji pun rasa sungkan mencuri di rumah Tuhan. Di Mesjid. Ketamakan dan jalan pintas mencapai materi di dunia, lebih utama bagi para penjahat itu ketimbang menyadari mencuri di rumah Tuhan merupakan perbuatan tercela yang luar biasa. Perbuatan dosa besar. Mereka gak peduli rumah Tuhan atawa bukan. Mereka sudah tidak lagi memiliki kepekaan sosial.

Menyadari fenomena ini, akhirnya pengurus mesjid memutuskan memasang CC TV atau kamera pengintai. Beberapa kamera dipasang menghadap ke depan dan dapat memantau perkarangan dan tempat parkir mesjid. Begitu juga di dalam mesjid dipasang beberapa kamera. Setelah pemasangan kamera, di tempel striker kecil: mesjid ini diawasi oleh kamera, lengkap dengan gambar CC. Adanya kamera ini memungkinkan diketahui apa yang sebenarnya terjadi. Jika ada pencurian, khususnya pencurian motor, dapat dilihat dari rekaman siapa pelakunya dan bagaimana melakukan pencurian.

Sebenarnya, ini hanya upaya membantu saja buat mengurangi pencurian di lingkungan mesjid. Tetapi apa yang terjadi? Sejak adanya kamera, ternyata hampir tidak ada lagi pencurian motor. Untuk sandal dan sepatu cuma sekali dua kali saja, itu mungkin lantaran hanya tertukar.

Rupanya manusia dewasa ini kini lebih takut kepada pengawasan melalui pengintaian kamera ketimbang takut kepada Tuhan. Bukti fisik di duniawi lebih ditakutkan dibandingkan bukti yang dilihat oleh Allah dan kelak diminta pertanggungjawaban “di alam sana.” Apakah jiwa para penjahat memang demikian? Ataukah justeru hal itu merefleksi rata-rata dari mentalitas kita?

T a b i k.***

 

*Wina Armada Sukardi, * _wartawan dan advokat senior dan juga Dewan Pakar Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan repotase/opini pribadi dan tidak mewakili organisasi._

Leave a Reply